Oktober hampir berakhir. Aku baru menyadari hal ini ketika jemariku mulai menulis di kala langit menurunkan bulir-bulir kehidupannya. Tidak. Mataku kali ini tidak ikut-ikutan seperti langit. Aku tidak sedang bersedih. Tapi mungkin lebih dari itu.
Sudah Oktober kesekian yang aku lewati sejak perasaan itu muncul. Aku juga baru tersadar ternyata sudah selama ini. Sudah selama ini aku hidup dengan sebuah perasaan yang amat ganjil. Perasaan yang tak bertuan. Jatuh cinta yang entah kepada siapa.
Aku mencintaimu. Dengan lugas hatiku dapat mengatakan itu. Bagaimana dengan lidahku? Kelu. Lidahku teramat malu dan takut untuk mengakui. Kalau kalau kau sudah tidak pernah untukku, maka itu hanya akan memperdalam luka ku.
Orang bilang ini pembodohan. Orang bilang ini sia-sia. Orang bilang ini gila.
Ya. Aku akui itu. Tapi apa jadinya kalau kau adalah luka sekaligus penyembuhnya? Apa jadinya jika kau adalah tangis sekaligus bahagiaku? Mereka bisa apa? Melarang? Tapi apa mereka bisa membahagiakan ku? Belum tentu.
Yang aku tau cinta itu keikhlasan. Cinta itu memberi tanpa pamrih. Memang lah anak bau kencur ini tidak tahu banyak tentang teori cinta. Tapi setidaknya, punya pendirian sendiri terhadap apa yang diperbuatnya.
Oleh sebab cinta itu adalah keikhlasan, maka cinta juga harus tanpa syarat. Ratusan kali kau sakiti, ribuan kali aku mempercayai. Entah apa yang mendasari hati ini selalu kembali. Yang jelas aku percaya bahwa bentuk cinta tidak selalu manis. Kau menunjukan cintamu dengan cara mu sendiri.
Aku sudah lelah meminta. Aku sudah lelah merajuk. Aku sudah lelah menangis. Bahkan air mata pun enggan turun ke pipi sekalipun hati ini teramat sakit.
Yang aku bisa lakukan hanya menerima. Ikhlas. Menerima pahit manisnya apapun yang kau berikan. Mengikuti alur permainan mu. Sampai kau sendiri yang menentukan bagaimana akhirnya.
Sekali lagi, aku mencintaimu. Selalu.
-eL-