Di
bawah langit kelabu kota Yogyakarta yang saat itu telah memasuki akhir tahun, Ardy memeluknya erat. Matanya
yang teduh dan senyum manisnya yang tipis seraya berkata
“Apa
yang kamu liat barusan itu nggak seperti yang sebenarnya Nin, Reva tiba-tiba datang
dan peluk aku begitu aja. Tapi plis, percaya sama aku. Percaya sama apa yang
udah aku jelasin ke kamu sebulan yang lalu, diperon stasiun Gambir, malam
terakhir sebelum aku kuliah ke Yogya. Aku sahabat kamu. Yang terlanjur jatuh
cinta sama kamu. Harusnya kamu percaya sama aku kalo aku bisa balikin ke
bahagiaan kamu”
“Tapi
apa yang aku liat barusan itu apa?”
“Itu
salah paham Nin, aku janji, aku akan nyembuhin luka dihati kamu yang terlalu
sempurna dia buat. Kasih aku satu kesempatan Nin”
“Janji?”
Tanyaku sambil menahan tangis
“Janji.” Ucapnya mantap, dan memeluknya lebih
erat. Ia pun tenggelam dalam tangis di dadanya.
Terkadang,
karena kita terlalu sibuk menghitung bintang, kita jadi lupa betapa indahnya
bulan. Apa yang tak pernah kita harapkan, terkadang bisa menjadi jawaban dari
semua persoalan. Begitu pula Ardy, yang kehadirannya baru Nina sadari, namun
ternyata begitu berarti.
***
“Jadi
ini yang selama ini kamu lakuin dibelakang aku? Kamu jahat Dik, kamu jahat! Aku
nggak nyangka. Hubungan kita sampe disini aja”
“Oke.
Kita putus.”
Satu
kata yang yang mengubah semuanya. Satu kata yang membuat harinya kelabu. Satu
kata yang membuat teh manis terasa pahit seperti jus pare. Putus. Ya, kalimat
itu terlontar dengan mudahnya dari bibir seseorang yang selama ini teramat ia
cintai. Dika Mahendra, laki-laki yang sejak dua tahun yang lalu menjadi
sandaran ketika ia tak kuasa menahan permasalahan hidup. Sudah banyak lika liku
yang mereka lalui selama ini. Bahkan masalah sesulit apapun pernah mereka
lewati.
Tak
di sangka, kehadiran wanita itu mengubah segalanya. Mengubah Dika-nya yang
dulu. Dika-nya kini telah hilang, hilang bersama kenangan manis yang pernah
terjalin. Baginya ini sulit. Sangat sulit. Bagaimana bisa, wanita yang baru hadir di kehidupan Dika-nya itu
mengubah segalanya? Atau memang kehadiran Dika di hidupnya sudah habis masanya?
Entah. Nina masih tak bisa berdamai dengan apapun.
Ia,
Nina Prastika. Gadis yang masih berseragam putih abu-abu yang setiap hari pergi
ke sekolah dengan senyum ceria ini mendadak kehilangan sinarnya. Nina yang
dulu, setiap berangkat ke sekolah wajarnya selalu lebih cerah daripada sinar
mentari pagi. Namun kini, sejak kejadian itu, setiap hari wajahnya murung.
Sendu. Gelap. Sinar yang terpancar bak lampu 5 watt yang sudah usang. Redup.
***
“Hah?
Lo putus Nin? Hahaha kok bisa sih?” Tanya Ardy, ketika mereka sedang makan di
kantin. Ardy adalah sahabat Nina sejak kecil. Rumah mereka pun berdekatan.
“Iya
Dy, gue putus. Gak nyangka banget ternyata selama ini dia jahat sama gue. Dia
gak sebaik yang gue piker” keluh Nina sambil mengaduk es teh yang sejak tadi ia
pesan namun tak kunjung ia minum.
“Yaudah
lah bagus lo putus. Kan jadinya lo tau dia sejahat apa. Jalanin aja. Nanti juga
pasti akan ada kok orang yang sayangnya tulus sama lo.”
“Nanti?
Kapan? Mulai detik ini gue udah gak percaya lagi sama mulut manis cowok ya.
Nyatanya cowok terbaik yang pernah gue kenal kayak Dika aja, bisa sejahat ini.
Sama sekali gak nyangka, cowok yang agamis aja masih bisa selingkuh. Gimana
yang lain?”
“Ya
terus lu mau sampe kapan gini? Gak mungkin lu menyamakan semua orang lah”
Nina
hanya mendengus kesal. Dalam hatinya masih kesal, marah, kecewa, dan sedih. Ia
tak berminat melanjutkan perkataan Ardy.
“Atau
jangan-jangan lu gak suka cowok lagi yaa?” Tanya Ardy berusaha membuat Nina
tersenyum.
“Hah?
Gila! Ya enggak lah. Gue masih normal kali. Tapi yaaa.. masih takut aja untuk
buka hati”
“Mau
sampe kapan begini?”
“Entah.”
***
Malam harinya, di depan meja belajarnya, Ardy duduk di
kursi, sembari tangannya memijat tombol-tombol laptop miliknya. Ia rupanya
sedang menyalurkan hobi menulisnya. Menulis untuk blog pribadinya yang
menggunakan nama samaran “Dyarhamka”. Entah apa makna nama itu. Yang jelas itu
cukup membuat blog nya menarik dan tulisannya semakin dicintai oleh pembaca.
Termasuk Nina.
Ardy masih mengingat kejadian tadi siang. Ketika Nina
bercerita bahwa ia tak lagi bersama dengan Dika. Ada kebahagiaan yang teramat dalam di hati Ardy.
Sama bahagianya ketika ia mendapatkan nilai 100,00 untuk mata pelajaran Bahasa
Inggris. Namun, ia juga tak mengerti mengapa ia sebahagia itu mendengar cerita
Nina yang baru saja putus dari pacarnya. Walaupun, sejak awal Ardy memang
kurang suka dengan perangai Dika yang ibarat dua sisi mata uang. Bermuka dua.
“Kok gue seneng ya Nina putus? Harusnya kan gue sedih
liat sahabat gue sedih. Tapi kok ini malah seneng? Ah tapi gapapa lah. Dia kan
putus sama cowok yang gak baik.” Ardy berkata pada dirinya sendiri dan sesegera
mungkin melupakan apa yang ia pikirkan barusan.
***
Hari-hari Nina terasa semakin kelam. Nina masih tenggelam
dalam kekecewaan yang dialaminya. Rasanya makanan seenak apapun, dihadapannya
menjadi tidak ada artinya. Kejadian ini membuatnya kehilangan selera untuk
makan. Nina tak ada bedanya dengan mayat hidup. Badannya kurus, pucat. Yang ia
lakukan setiap hari sepulang sekolah hanya membuka handphone dan membuka
percakapan-percakapan lamanya dengan Dika.
Pernah suatu pagi, ia melewatkan nasi uduk Bu Warti
kesayangannya di karenakan lidahnya tak selera untuk menyantap apapun. Ia
hanya meneguk segelas susu yang dibuat
ibunya. Hari itu Nina pergi ke sekolah tanpa menyantap sesuap nasi pun. Padahal
biasanya, ia tak pernah ketinggalan untuk menyantap nasi untuk sarapan, apalagi
nasi uduk Bu Warti kesayangannya.
Sesampainya di sekolah, Nina tidak dapat berkonsentrasi
terhadap pelajaran dengan baik. Otaknya masih di penuhi oleh seseorang bernama
Dika yang telah menyakitinya belakangan ini. Sedangkan ia jugan menahan sakit
di perutnya yang rasanya seperti luka ditetesi air jeruk nipis. Perih.
Dikarenakan ia tidak menyantap nasi pagi ini.
“BRUAAAKKKKKKK”
Sebuah bola basket melayang tepat mengenai kepala Nina
yang sedang berjalan melewati pinggir lapangan basket ketika istirahat. Rupanya
disana adalah, Rico, kapten basket yang tampan nan terkenal itu.
“Eh sorry, gak sengaja. Lo gapapa?’
“Gapapa gimana? Ini sakit banget sumpah. Pusing.”
“Sini gue bantu ke UKS”
Rico membantu Nina ke UKS. Rico yang selama ini Nina tahu
adalah laki-laki yang nakal dan tidak sopan terhadap wanita. Namun pandangan
tersebut berubah ketika Nina melihat sendiri Rico mau bertanggung jawab setelah
tidak sengaja melempar bola basket ke arah Nina.
“Makasih yaa udah nganterin gue kesini” Nina berkata
sambil tersenyum
“Iya sama-sama. Maaf juga udah ngelempar bola
sembarangan. Jadi kena lo deh. Oiya, nama gue Rico, XII IPS 1. Kalo lo?” Tanya
Rico sambil mengulurkan tangan
“Nina, XII IPA 3”
Semenjak kejadian itu, mereka menjadi semakin akrab.
Hampir setiap hari mereka bercerita melalui aplikasi pesan singkat. Sekali dua
kali Rico pun mengantarkan Nina pulang kerumah. Tapi, ada hal yang tidak
terliha oleh mata Nina. Sesuatu yang mungkin bisa mematahkan hatinya yang belum
utuh sempurna akibat dihancurkan oleh Dika.
***
“Ric, gue liat lo lagi deket ya sama Nina?” Tanya Dika
“Hah? Deket? Apaan deh? Biasa aja lah.”
“Waktu itu gue liat lo anter dia pulang dan kalian sempet
jalan bareng kan?”
“Yaelah,
itu mah biasa. Gue sering kali ngelakuin itu sama cewek lain. Mungkin dia nya
aja kali yang kegeeran ahahhahaa”
“Serius lo ga ada rasa sama dia?
“Ya enggak lah. Mana mungkin gue suka sama cewek kayak
dia. Yang lebih cantik kan banyak”
“Yakin lo gak akan suka sama dia?”
“YAKIN! Dia Cuma buat mainan gue aja”jawab Rico mantab
“Gue tantang lo bikin dia baper, sampe jadian. Kalo bisa,
lo boleh minta apa aja sama gue.”
“It’s an easy thing to do bro. Liat aja nanti”
Rico yang semula memiliki niat untuk berteman baik dengan
Nina menjadi berbalik arah. Ia tertantang dengan ucapan Dika. Dan ia bertekad
untuk mempermainkan hati Nina demi mendapat kepuasan tersendiri. Sungguh tak
ada yang pernah tahu isi hati terdalam manusia. Yang terlihat berhati malaikat
pun bisa sekejap berubah menjadi berhati iblis. Percakapan antara dua laki-laki
itu ternyata tanpa disengaja terdengar oleh telinga orang ketiga. Orang itu
adalah Ardy.
“Hah? Jadi Rico itu temen deketnya Dika? Dan dia cuma mau
mainin Nina? Wah gak bisa dibiarin. Nina harus tau.”
Setelah itu disekolah, Ardy tidak berhasil menemui Nina. Handphone-nya pun tidak bisa dihubungi.
Lantas pada malam harinya Ardy memutuskan untuk pergi kerumah Nina dengan
menggunakan Ninja-nya.
“Assalamu’alaikum Nina..”
“Wa’alaikumsalam.. eh Ardy.. mau pergi sama Nina ya?”
Tanya Ibu Nina
“Hah? Engga kok tante. Ini saya aja cuma pake kaos sama
jeans pendek. Emang Nina mau pergi kemana tante?” Tanya Ardy keheranan. Belum
sempat ibu Nina menjawab, Nina pun turun dari tangga dengan pakaian rapi hendak
ke pesta. Nina sangat cantik bak putrid dari negeri dongeng.
“Mau kemana lo Nin? Kok gak ngajak?”
“Sori Dy gue gak bilang. Ini gue mendadak diajak Rico
nge-date.”
“Hah? Nge-date?
Lo serius sama cowok itu? Dia itu gak baik.”
“Aduh plis deh, Cuma nge-date doang kok. Kenapa sih setiap gue deket sama cowok lo selalu
aja ganggu? Lo gak suka gue seneng? Sahabat macem apa lo?”
“Tapi Nin, apa yang gue bilang ini bener” ujar Ardy
berusaha membela diri. Tiba-tiba terdengar suara mobil, rupanya mobil itu milik
Rico.
“Yaudah gue jalan dulu. Nanti aja kalo mau ceramahin gue”
Begitulah
Nina, meski terlihat lembut, tapi ia memiliki watak yang cukup keras. Maklum,
anak semata wayang. Hal itu cukup dimaklumi Ardy. Namun rasanya, ada
kekhawatiran berlebih dihatinya melihat Nina, sahabatnya, pergi bersama
laki-laki lain. Tidak. Ini bukan kekhawatiran biasa. Ini berbeda. Tapi Ardy
masih berusaha sekuat tenaga menyangkal perasaan itu.
***
Malam itu menjadi malam yang indah buat Nina. Setelah
sekian lama tidak merasakan kebahagiaan itu. Setelah sekian lama hatinya
terluka. Setelah sekian lama ia enggan membuka pintu hatinya untuk laki-laki
manapun. Malam itu menjadi awal yang baru. Nina membuka kembali hatinya untuk seorang
pria. Meskipun ia tak yakin, luka hatinya sudah sepenuhnya sembuh atau malah
ini hanya pelampiasan perasaannya saja. Entah. Senyum kembali menghiasi
wajahnya. Nafsu makan menjadi kembali seperti sedia kala. Sarapan nasi uduk tak
dilewatkannya. Yang jelas ia sudah tak sabar untuk berbagi kabar baik ini
kepada sahabatnya, Ardy.
“Hai Dy! Maafin yaa soal tadi malem. Gue mau cerita nih”
“Iyaa, dimaafin kok. Gue udah paham watak lu gimana. Mau
cerita apa? Kayaknya seneng banget”
“Iyalah seneng. Semalem, gue ditembak Rico!” jawab Nina
sumringah
“Hah?! Serius?! Lo bener-bener keras kepala ya. Gak
pernah mau percaya apa yang gue bilang. Kalo terbukti Rico itu bukan cowok
baik, gimana?”
“kok lo marah banget sih? Harusnya lo seneng dong sahabat
lo bisa bahagia lagi sekarang. Kok malah marah-marah gini?”
“Yaudah terserah. Kalo sampe lo disakitin lagi sama
cowok, gak usah nyari gua”
Tubuh Nina membeku. Ia masih tak percaya dengan apa yang
barusan dilihatnya. Ardy sahabatnya tak pernah semarah ini. Ternyata kenyataan
tak sesuai harapan. Ardy yang Nina pikir akan ikut berbahagia melihat dirinya
sudah membuka hati untuk orang lain, ternyata malah marah sejadi-jadinya. Nina
yang sudah sangat mengenal Ardy pun tak bisa mengerti arti dibalik kemarahan
Ardy. Bukan marah biasa. Bukan marah seorang sahabat. Melainkan marahnya
seorang lelaki yang melihat wanita pujaannya jatuh cinta kepada laki-laki yang
salah.
***
“Gak, gue gak boleh begini. Kok gue marah? Harusnya gue
biasa aja dong. Kan Nina juga udah pernah pacaran sama orang yang lebih jahat
dari ini. Tapi kok ada rasa yang beda? Perih. Gak. Gak mungkin. Gak boleh.
Sampe kapan pun juga, gak boleh. Gak boleh itu terjadi.”
Ardy
memaki dirinya sendiri. Sengaja ia tidak langsung pulang kerumah. Karena ia
tau, rumah hanya akan membuatnya memikirkan tentang Nina. Saat ini, ia sedang
berusaha menenangkan pikirannya di sebuah coffee
shop sambil menulis untuk blognya tentang apa yang ia rasakan saat ini.
Tiba-tiba sekilas ia melihat dua orang yang familiar memasuki café dan duduk di salah satu sudut café. Ardy memicingkan mata dan
dilihatnya Rico dengan wanita lain! Dengan cepat ia mengambil ponsel disakunya
lantas mengambil gambar kedua orang itu. Dengan cepat ia mengirim gambar itu ke
Nina.
“Nin,
coba liat ini siapa” tulis Ardy dilayar ponselnya dan mengirim gambar kedua
orang itu.
“Hah?
Itu Rico?! Sama siapa?!” balas Nina yang kelihatan sangat kaget
“Iya,
itu Rico sama Rita. Terbukti kan apa yang gue bilang. Masih gamau percaya?”
“Ya
ampun Dy, gue gak nyangka ada yang setega ini sama gue. Rico bilang hari ini
dia ada les musik. Ternyata dia malah jalan sama Rita.”
***
Gadis
cantik itu kembali kehilangan sinarnya. Sinar yang baru saja hidup kembali,
sekejap dipadamkan oleh sesuatu yang sudah menyalakannya. Bantal, kasur, dan
selimut yang basah air mata menjadi saksi betapa hancurnya hati gadis ini.
Matanya kini tinggal segaris. Sembab. Akibat menangis semalam suntuk. Tak ada
selera makan. Tak ada senyuman. Lenyap.
Hari
terus berganti, hanya Ardy yang selalu setia menemani. Namun rupanya hati Nina
terlalu keras untuk menyadari bahwa ada ‘tabib’ handal disampingnya yang lebih
dari siap dan mahir untuk mengobati luka hatinya. Nina tetap pada pendiriannya
bahwa semua laki-laki itu sama saja, tidak aka nada laki-laki yang tulus
mencintainya kecuali ayahnya.
Sulit
bagi Ardy untuk mengutarakan yang sebenarnya. Mengubah ikatan persahabatan
menjadi ikatan yang lebih dari itu. Tetap bersahabat, tapi lebih peduli dan
takut kehilangan. Ardy tetap dan selalu ada disamping Nina. Hanya terdiam.
Karena ia tahu, bahwa apa yang ia harapkan akan terjadi. Ia harus menjadi
laki-laki kuat dihadapan Nina. Mana mungkin ksatria penolong kelihatan rapuh
dan patah hati didepan gadis pujannya? Entah sampai kapan. Hanya waktu yang
akan menentukan semuanya.
***
Hari itu pengumuman untuk masuk ke perguruan tinggi
negeri. Hari itu menjadi hari penting buat mereka, terlebih untuk Ardy. Ardy
memutuskan untuk mengungkap semuanya. Apa yang telah menyita sepertiga waktunya
untuk memikirkan hal ini. Hal yang membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan
sahabatnya.
“Dy, liat gue keterima UI!” sorak Nina waktu mengetahui
dirinya berhasil diterima di universitas yang ia impikan
“Selamat ya! Gue juga nih, keterima UGM!” balas Ardy tak
kalah sumringahnya, walaupun itu berarti kuliah akan membuatnya berpisah jauh
dengan sahabatnya.
“UGM?! Berarti kita jauh dong” kata Nina dengan wajah
agak kecewa
“Bagus dong, bosen gue sekolah sama lo terus hahahha”
jawab Ardy berusaha mencairkan suasana.
Ardy pun bertekad membuat hari itu tak terlupakan. Ia
menghabiskan waktunya untuk bermain bersama Nina. Baginya itu adalah kado
terbaik sepanjang umurnya. Ia urung mengutarakan perasaannya, melainkan
menundanya lagi.
***
“Besok Ardy harus pergi ke Yogya. Kok gue bener-bener gak
rela ya dia pergi? Gimana kalo disana dia sakit? Gimana kalo dia disana butuh
bantuan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantui pikiran Nina
semalam sebelum hari keberangkatan Ardy ke Yogya, ia sangat amat
mengkhawatirkan bagaimana kehidupan Ardy setelah jauh dari Nina. Padahal
hari-hari sebelumnya ia biasa saja, ia turut senang sahabat baiknya itu
akhirnya dapat meraih cita-citanya. Tapi tidak dengan malam itu, ia cemas luar
biasa akan hal yang belum pasti terjadi. Cemas akan apapun yang akan menimpa
orang yang dicintainya.
Keesokan
harinya…
“Nin,
gue berangkat ya. Jaga diri baik-baik di Depok. Maaf gue gak sempet nganter lu
kesana karena gue harus ke Yogya duluan.”
“Iya
Dy, gapapa. Lo juga jaga diri baik-baik. Kalo ada apa-apa jangan sungkan kabarin
gue” tak kuasa air mata sudah mengalir ke pipi Nina
“Eh
jangan nangis gitu dong, oh iya, ini gue ada sesuatu buat lo” Ardy mengeluarkan
sebuah kotak dari tasnya. Ternyata isinya adalah sepasang gelang dan secarik kertas berisi kalimat-kalimat indah seperti ini.
"Teruntuk sahabatku…
Apa kita bersahabat? Jika kau tanya itu, jawabku pasti iya.
Apakah jika kita bersahabat kita boleh memiliki rasa yang
lebih? Jika kau Tanya itu, aku tak tau. Aku tak tau apakah seorang sahabat
boleh mempunyai perasaan lebih terhadap sahabatnya. Entah. Tapi itulah yang ku
rasa. Aku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Aku berusaha melawan perasaan
itu, tapi perasaan ini jauh lebih besar dari dayaku.
Perihal luka hati mu, jika kau beri aku kesempatan, maka
takkan ku sia-sia kan kesempatan itu untuk menyembuhkan luka hatimu.
Sekarang, mau kah kau member kesempatan itu?"
Nina
tak kuasa menahan tangis. Ia tak menyangka bahwa sahabatnya juga memiliki rasa
yang sama dengannya. Seketika ia memeluk Ardy dengan erat. Ardy pun tersenyum
tulus menerimanya.
***
Sebulan
kemudian, Nina memutuskan untuk berkunjung ke Yogya. Tanpa sepengetahuan Ardy,
ia dating untuk member kejutan di hari ulang tahunnya. Namun malang tak dapat
ditolak, untuk tak dapat diraih. Yang ia dapat bukan kebahagiaan, tetapi malah
kekecewaan.
“Apa yang kamu liat barusan itu nggak seperti
yang sebenarnya Nin, Reva tiba-tiba datang dan peluk aku begitu aja. Tapi plis,
percaya sama aku. Percaya sama apa yang udah aku jelasin ke kamu sebulan yang
lalu, diperon stasiun Gambir, malam terakhir sebelum aku kuliah ke Yogya. Aku
sahabat kamu. Yang terlanjur jatuh cinta sama kamu. Harusnya kamu percaya sama
aku kalo aku bisa balikin ke bahagiaan kamu”
“Tapi
apa yang aku liat barusan itu apa?”
“Itu
salah paham Nin, aku janji, aku akan nyembuhin luka dihati kamu yang terlalu
sempurna dia buat. Kasih aku satu kesempatan Nin”
“Janji?”
Tanyaku sambil menahan tangis
“Janji.” Ucapnya mantap, dan memeluknya lebih
erat. Ia pun tenggelam dalam tangis di dadanya.
Dan
langit pun tersenyum. Langit enggan menurunkan hujannya lantaran sinar diwajah
Nina lebih cerah sehingga matahari pun tidak ragu untuk ikut memancarkan
sinarnya. Terkadang, karena kita terlalu sibuk menghitung bintang, kita jadi
lupa betapa indahnya bulan. Apa yang tak pernah kita harapkan, terkadang bisa
menjadi jawaban dari semua persoalan. Begitu pula Ardy, yang kehadirannya baru
Nina sadari, namun ternyata begitu berarti.
Dan perkara hati, hati seorang anak manusia itu sangat
rapuh. Lebih rapuh daripada tahu tanpa formalin. Hati itu mudah rusak, bahkan
hancur. Proses penyembuhan luka hati itu bervariasi. Ada yang cepat dan ada
yang sangat lama. Semua tergantung waktu. Ya, waktu yang akan mengembalikan
keadaan seperti semula. Selain waktu, diperlukan pula seseorang yang dapat
menyembuhkan luka di hati. Dengan cara apa? Dengan cara mengganti kepingan hati
yang rusak dengan hati yang baru.
-eL-
Ellya Rizki Handayani©2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar