Pagi ini sudah memasuki awal Oktober. Sudah seharusnya
butir-butir kehidupan turun membasahi bumi. Tapi hujan tak kunjung turun. Bumi
pun merindukan hujan. Sama seperti aku, yang merindukanmu. Sangat.
September lima yang lalu, kau berdiri di ambang pintu rumah
ku. Kau berdiri dibawah hujan yang teramat deras. Sedangkan aku, terduduk di
dalam kamar dengan membawa semua amarahku. Sesekali aku mengintip melalui jendela kamar. Terlintas di
pikiranku, aku merasa kasihan. Ingin rasanya membukakan pintu, dan memelukmu
erat. Tapi ego ku terlalu besar untuk mengakuinya. Ya, aku bodoh saat itu. Aku
hanya mementingkan ego ku. Pada saat itu yang aku pikirkan hanyalah, seseorang
yang berkencan dengan perempuan lain padahal dia masih mempunyai kekasih adalah
tindakan fatal. Ya, otakku langsung mengambil kesimpulan seperti itu tanpa aku
tahu alasanmu yang sebenarnya.
Seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskanmu. Tepat di
hari jadi kita yang pertama. Kekecewaanku yang teramat dalam membuatku
kehilangan separuh jiwaku. Kepergianmu meninggalkan luka. Namun ego ku
buru-buru menyembuhkannya. Iya, karena keegoisanku, luka ini pun sembuh. Dan
aku sanggup menjalani hari tanpamu.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studi ke negeri orang.
Berharap bisa melupakan sisa memori tentangmu. Akhir-akhir ini aku baru tahu
siapa wanita yang berkencan denganmu saat itu. Sebenarnya, itu tidak bisa
dikatakan berkencan. Kau hanya mengobrol di cafe bersama gadis itu. Ternyata
gadis itu adalah sepupumu. Yang ingin membantumu untuk menyiapkan kejutan
dihari jadi kita. Sungguh, betapa sempitnya pikiranku saat itu.
Lima tahun berlalu, kabar terakhir tentangmu yang aku terima
adalah kau akan segera menikah dengan wanita lain. Luka yang bertahun-tahun
telah mengering, kini luka itu menganga kembali. Berkali lipat lebih sakit dari
sebelumnya. Ada penyesalan yang teramat dalam. Mengapa aku tidak keluar dari
rumah, memelukmu dibawah hujan, dan membiarkanmu masuk lalu kau menceritakan
yang sebenarnya? Mengapa aku sebodoh itu? Mengapa aku seegois itu?
Nasi telah menjadi bubur. Namun bubur juga bisa terasa enak
jika dinikmati dan disyukuri. Rasanya tak mungkin juga aku menggagalkan
pernikahanmu. Jika aku lakukan itu, maka aku sama saja seperti dulu. Termakan
oleh keegoisanku. Namun, jika boleh aku mengatakan sesuatu "Aku
merindukanmu. Bolehkah aku kembali ke lima tahun yang lalu? Di musim hujan
bulan September? Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku merindukan
hujan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar