Sabtu, 10 Oktober 2015

Rindu Hujan

Pagi ini sudah memasuki awal Oktober. Sudah seharusnya butir-butir kehidupan turun membasahi bumi. Tapi hujan tak kunjung turun. Bumi pun merindukan hujan. Sama seperti aku, yang merindukanmu. Sangat.

September lima yang lalu, kau berdiri di ambang pintu rumah ku. Kau berdiri dibawah hujan yang teramat deras. Sedangkan aku, terduduk di dalam kamar dengan membawa semua amarahku. Sesekali aku mengintip  melalui jendela kamar. Terlintas di pikiranku, aku merasa kasihan. Ingin rasanya membukakan pintu, dan memelukmu erat. Tapi ego ku terlalu besar untuk mengakuinya. Ya, aku bodoh saat itu. Aku hanya mementingkan ego ku. Pada saat itu yang aku pikirkan hanyalah, seseorang yang berkencan dengan perempuan lain padahal dia masih mempunyai kekasih adalah tindakan fatal. Ya, otakku langsung mengambil kesimpulan seperti itu tanpa aku tahu alasanmu yang sebenarnya.

Seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskanmu. Tepat di hari jadi kita yang pertama. Kekecewaanku yang teramat dalam membuatku kehilangan separuh jiwaku. Kepergianmu meninggalkan luka. Namun ego ku buru-buru menyembuhkannya. Iya, karena keegoisanku, luka ini pun sembuh. Dan aku sanggup menjalani hari tanpamu.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studi ke negeri orang. Berharap bisa melupakan sisa memori tentangmu. Akhir-akhir ini aku baru tahu siapa wanita yang berkencan denganmu saat itu. Sebenarnya, itu tidak bisa dikatakan berkencan. Kau hanya mengobrol di cafe bersama gadis itu. Ternyata gadis itu adalah sepupumu. Yang ingin membantumu untuk menyiapkan kejutan dihari jadi kita. Sungguh, betapa sempitnya pikiranku saat itu.

Lima tahun berlalu, kabar terakhir tentangmu yang aku terima adalah kau akan segera menikah dengan wanita lain. Luka yang bertahun-tahun telah mengering, kini luka itu menganga kembali. Berkali lipat lebih sakit dari sebelumnya. Ada penyesalan yang teramat dalam. Mengapa aku tidak keluar dari rumah, memelukmu dibawah hujan, dan membiarkanmu masuk lalu kau menceritakan yang sebenarnya? Mengapa aku sebodoh itu? Mengapa aku seegois itu?


Nasi telah menjadi bubur. Namun bubur juga bisa terasa enak jika dinikmati dan disyukuri. Rasanya tak mungkin juga aku menggagalkan pernikahanmu. Jika aku lakukan itu, maka aku sama saja seperti dulu. Termakan oleh keegoisanku. Namun, jika boleh aku mengatakan sesuatu "Aku merindukanmu. Bolehkah aku kembali ke lima tahun yang lalu? Di musim hujan bulan September? Aku merindukanmu. Aku merindukan kita. Aku merindukan hujan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar